Awal 2013, seorang
pedagang suvenir di Bukittinggi Sumatera Barat menyadari ada peluang usaha
sejalan dengan tren batu akik di Tanah Air. Zulkirwan, atau yang karib disapa
Iwan Leo, langsung belajar kilat tentang batu.
Iwan memang sudah
menggeluti dunia perhiasan dan suvenir sejak 1996.
Perak bakar jadi
spesialisasinya. Perak ini berwarna gelap, beda dengan perak biasa yang putih
mengilap.
Banyak yang
menganggap perak bakar ini kurang indah karena warnanya yang butek. Padahal ia
tak akan berubah warna seperti perak biasa yang akan memudar seiring waktu.
Berangkat dari sini,
Iwan berkreasi. Dia belajar membelah, mengasah, dan memoles batu. Kemudian dia
memadu-padankan keahlian lama dengan keahlian barunya ini. Batu yang sudah apik
disandingkan dengan kreasi perak yang beragam.
Iwan mulai membuat
cincin dan liontin sebagaimana tren di pasar. Selain itu, dia membuat berbagai
kreasi lain seperti bros, anting-anting, gelang serta kalung dengan desain yang
dinamis.
“Batu-batu ini,
kalau enggak bisa dijadikan permata, saya jadikan sebuah karya,” ujar Iwan Leo
sembari menunjukkan kalung dengan hiasan batu-batu persegi panjang asimetris.
Menurut Iwan, kreasi
original seperti ini justru banyak peminatnya ketimbang bandul liontin
konvensional yang berbentuk oval atau bulat.
Iwan selalu
mengupayakan agar batunya tak ada yang terbuang. Dari sisa batu yang dibentuk
menjadi cincin untuk kaum adam, dia bisa membuat anting-anting atau mainan
gelang. Seperti sebuah gelang yang dijual sekitar Rp3,5 juta.
Gelang tersebut
merupakan gabungan belasan batu Sungai Dareh khas Sumbar yang dijalin dengan
perak bakar. Batu tersebut berukuran sebesar kuku jari kelingking. Kecil-kecil
saja.
Ukuran tersebut tak
akan bisa dijadikan cincin karena bentuknya tidak bulat utuh. Namun Iwan
mengkreasikan hingga batu yang hampir tersia itu bisa dimanfaatkan.
Ada juga gelang yang
dijual sekitar Rp100.000. Ini tergantung dari kesulitan memperoleh batu.
“Kalau seperti
serpihan-serpihan dan kemudian saya modif, kerjanya cepat. Makanya bisa dijual
murah,” ujar Iwan.
Terlebih jika
batunya bukan batu alam murni atau batu sintetis. Perhiasan seperti ini sering
diincar kaum ibu yang lebih memerhatikan keindahan ketimbang kaum bapak yang
mementingkan kualitas batu.
“Seperti ini, kadang
saya bikin bentuk ikan. Saya modif dengan perak dan diberi batu,” Iwan
memamerkan koleksi brosnya, “Ini enggak bakal ketemu di mana pun, karena ini kan karya
saya sendiri.”
Iwan mengutamakan
kerja pribadi. Semua dia desain sendiri. Dua orang stafnya hanya bertugas
mengerjakan hal teknis lain seperti memoles batu atau menyatukan batu dengan
perak. Sisanya Iwan sendiri yang turun tangan.
Bahkan untuk mencari
batu sekalipun, ia enggan langsung bertransaksi untuk membeli batu mentah dari
pedagang lain.
“Saya ini hobi
bertualang. Saya pergi ke sungai, tambang, rimba. Saya cari sendiri. Setelah ketemu,
baru saya utus orang,” kata Iwan.
Dia kemudian
memamerkan batu yang baru-baru ini ia temukan. Iwan menamainya ‘Bulu Monyet’
karena ketika disinari, batu tersebut mempunyai corak serupa bulu monyet.
“Ini dapatnya ketika
saya bertualang, di sebuah desa di Pasaman, sekitar 50 km dari Bukittinggi ke
arah Medan,” ujarnya.
Masih banyak batu
yang bisa diekspos dari Sumbar. Iwan mengatakan sejauh ini yang paling dikenal
hingga pasar ekspor adalah batu Sungai Dareh atau yang mendapat julukan Giok
Sumatera.
Padahal menurut
Iwan, batu-batu lain seperti Suliki akan bisa turut terkenal jika promosinya
baik.
“Sebetulnya Sumbar
batunya banyak sekali. Suliki ini lebih top, lebih cantik. Ini dari Payakumbuh.
Cuma promosinya kurang,” katanya.
Dia mengatakan
promosi yang baik tentu bisa berdampak pada perputaran ekonomi pelaku UKM.
Dia memberi contoh
saat mengawali bisnis batu pada 2013, pendapatan per bulan Iwan bisa mencapai
sekitar Rp8-9 juta dengan keuntungan bersih Rp2-3 juta.
Kini dia mendapat
Rp12-13 juta dengan keuntungan bersih sekitar Rp5 juta.
Iwan tak memungkiri
bantuan Disperindag setempat turut membantu pelaku UKM seperti dia.
“Sekarang
produk-produk saya sudah mulai melejit karena Disperindag bantu mengorbitkan
saya. Mudah-mudahan omzet setelah ini makin naik,” harap Iwan.
Namun Iwan kembali
mengingatkan bahwa orisinalitas merupakan hal terpenting dalam hal apa pun.
Dia tak akan
diundang mengikuti pameran-pameran batu, jika tidak memiliki ciri khas.
Seperti yang
diutarakan Iwan di awal, “Saat orang cuma jual-beli, kita berkreasi.”
Sumber: Bisnis.com