Seniman Remy Sylado mengenakan batu akik di sepuluh jari
tangannya. Butet Kartaredjasa menyimpan koleksi puluhan batu akik di kotak
deposit di sebuah bank. Kini batu akik menjadi gaya hidup. Ada apa dengan batu
akik?
Butet Kartaredjasa menyimpan akik di bank semata demi
pengamanan bagi batu akik serta batu mulia yang diwarisinya dari almarhum sang
ayah, mendiang Bagong Kussudiardja. Penari dan koreografer Bagong, menurut
Butet, selalu membawa tiga kantong kulit berisi beragam batu akik. Di tengah
jalan, Bagong bisa berhenti lalu bercerita tentang akiknya hingga berjam-jam.
Setelah Bagong meninggal, ratusan batu akik itulah yang kemudian dibagi oleh
anak-anaknya.
Bagong bahkan pernah membeli lukisan dari seorang
seniman terkenal dengan barter batu akik. ”Kalau ada saudara yang kepepet butuh
duit, mereka menjual akik ke saya. Mertua juga senang menghadiahi akik.
Lama-lama suka,” kata Butet.
Sejak mahasiswa, Butet memakai cincin berhias batu merah
hitam. Kala itu, dia merasa penampilannya kurangmacho. Tanpa kumis dan
tidak tertarik memakai beragam aksesori, penampilannya sebelum memakai cincin
akik dirasa ”pucat”. ”Dulu aku bukan penggemar batu. Suatu hari nonton Jakarta
Fair, tertarik lihat stan yang jual batu,” kata Butet.
Batu yang dibeli sejak mahasiswa itulah yang hingga kini
jadi kebanggaan Butet. Sekilas, batu itu terlihat berwarna hitam, tetapi akan
berubah menjadi merah tua pada saat diterawang. Saking cintanya, batu tersebut
tak pernah lepas dari jari manis tangan kanan Butet. Si cincin berhias batu tersebut
hanya akan berpindah ke jari tangan kiri ketika Butet makan masakan padang
dengan cara ”muluk” memakai tangan.
Bahkan, ketika pentas atau main film, si hitam merah
selalu lekat di jemari. Beberapa rekan seniman berseloroh bahwa Butet bisa main
teater dengan bagus hanya karena memakai cincin batu. Ada pula yang sempat
mengira batu itu sebagai alat pengasihan. Beberapa kali, ada penggemar batu
yang berniat membeli batu unik yang dulu dibeli seharga Rp 25.000 itu.
”Aku merasa lebih keren. Kalau enggak pakai cincin batu
rasanya gondal-gandul. Kayak enggak pakai celana dalam,” tambah Butet.
Tak sekadar mengandalkan warisan, Butet pun mulai
ketularan hobi berburu batu. Seperti ketika pergi ke Nusa Kambangan, ia membeli
beberapa batu kul buntet yang konon bisa berjalan sendiri jika diletakkan di
permukaan kaca yang diolesi minyak.
Keindahan alamiah akik itu pula yang membuat sastrawan
Remy Sylado jatuh hati. Sejak 1970-an, Remy sudah mengoleksi beragam jenis batu
akik. Awalnya, koleksinya hanya sebatas batu berwarna putih, sesuai warna
kesukaannya. Kecintaan pada batu warna putih lantas merembet ke batu akik hitam
dan merah sebelum kemudian mengoleksi batu dari semua warna.
Batu marjan yang disebutnya memiliki warna merah keren,
batu pirus berwarna biru, hingga giok hijau adalah beberapa dari ratusan batu
akik yang dikoleksi Remy. Batu-batu tersebut disimpan dengan sangat hati-hati
di laci meja khusus di rumahnya. Beberapa batu akik sudah diikat dengan logam
mulia dan dipakai sebagai cincin.
”Saya suka batu, tapi tidak percaya batu. Selera pribadi
yang terpelihara sampai sekarang. Kenikmatan orang sakit jiwa itulah,”
tambahnya.
Memakai batu, menurut Remy, tidak lantas membangun
sebuah perasaan tertentu. Selain sekadar suka, Remy bisa menjalin dialog dengan
orang lain lewat sarana batu. Ada saja orang-orang yang datang ke rumahnya lalu
berdialog tentang keindahan batu. ”Saya heran kok sekarang jadi tren,” ujar
Remy.
Selain sebagai kegemaran, batu juga dijadikan peluang
mendulang uang. Ini antara lain dilakukan Andi Nugraha (26), analis pada sebuah
bank. Dia tidak keberatan melepas beberapa butir batu kesukaannya jika memang
harganya cocok. Apalagi jika nilai tukarnya bisa sampai dua kali lipat dari
harga beli.
Andi kini menyimpan lima butir batu jenis chalcedony, kecubung, pyernhite
nigeria, dan american black star, yang harganya mulai dari Rp 100.000
sampai Rp 500.000. ”Kalau pandai menjual, bisa untung dua kali lipat,” kata
Andi, yang beberapa hari lalu menjual dua batu seharga Rp 350.000. Padahal, dia
hanya membeli dengan harga setengahnya.
Agus Hadyana (37), wartawan dan pekerja seni di Bandung,
melihat maraknya kegilaan terhadap batu sebagai peluang mengumpulkan dana untuk
kegiatan seninya. Agus tak ingin bergantung pada bantuan pemerintah atau
mengajukan proposal ke lembaga-lembaga untuk mencari dana. Dia berpikir,
menjual batu bisa menjadi jalan keluar.
Belakangan dia rajin mengunggah gambar-gambar batu
bacan, kalimaya, ruby, dan pancawarna lewat BBM dan via internet.
Batu-batu itu dia dapatkan dari rekan-rekan sesama pekerja seni. Dia jual
dengan harga mulai dari Rp 200.000 sampai puluhan juta rupiah.
Menjaring sahabat
Kepala LKBN Antara Sumatera Utara Simon
Pramono (53) semakin keranjingan batu setahun terakhir. Sebelumnya dia memang
pengoleksi batu-batu mulia sejak 1985, tetapi semakin menggila akhir-akhir ini.
Simon mengoleksi berbagai batu mulia dari Aceh, Malaysia, bahkan Nigeria.
Baginya, batu-batu itu bukan sekadar benda mati,
melainkan dapat menjadi perekat persahabatan. ”Prinsipnya, satu batu sejuta
kawan, he-he-he,” ujar Simon, yang mengoleksi tak kurang dari 200 butir batu
berbagai jenis dan ukuran ini.
Simon termasuk murah hati karena kerap memberikan
batu-batu itu sebagai tanda mata kepada rekan-rekan dari luar kota yang
berkunjung ke Medan. ”Nah, sering juga di antara mereka memberi mahar sampai Rp
10 juta,” kata Simon.
Antropolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, PM
Laksono, mencermati kecintaan pada batu sejatinya sudah terjadi sejak lama.
Tren yang berlangsung akhir-akhir ini, menurut Laksono, hanya karena dampak
publikasi dari media. ”Waktu muda, saya bermain bola untuk tim Fakultas Sastra
UI. Salah satu pemain dari Papua datang dan memasukkan batu ke kantong saya.
’Supaya kita menang’ katanya. Batu punya daya magis untuk selalu diceritakan,”
ujarnya.
Dalam batu ada struktur, ada lapisan, ada uratnya. Garis
dan titik dalam batu itu mempunyai daya yang mengusik perhatian. Harga batu
akik yang tinggi tak terlepas dari cerita di balik batu tersebut. Detail dalam
batu, menurut Laksono, memungkinkan orang membangun cerita. Karena bisa
diceritakan, batu jadi memiliki kekuatan.
Sosiolog Jean Couteau mengatakan, fenomena batu di
Indonesia bukan hal baru. Sejak dulu batu akik secara tradisional dianggap
memiliki kekuatan magis. Jika tiba-tiba fenomena itu meledak sekarang,
”Barangkali punya kaitan dengan kebuntuan sosial politik yang kini terjadi.
Lalu orang lari pada batu-batu.” Namun, kata Jean, itu analisis yang masih bisa
diperdebatkan. Ia hanya bersandar pada kecenderungan orang-orang Indonesia yang
secara tradisional memilih meratap pada benda-benda ketimbang mempertanyakannya
secara rasional.
Kini, seni berbicara lewat batu yang membuat orang-orang
percaya tentang keampuhan serta kekuatan batu. Kekuatan batu bercerita ini pula
yang membuat transaksi batu bisa berlangsung berjam-jam. Pedagang dan pembeli
batu diibaratkan sedang saling berwacana untuk menaklukkan pikiran. ”Pikirannya
yang berharga. Pikiran yang ditempelkan pada batu dan terverifikasi oleh
struktur batuan,” kata Laksono.
Lebih dari kemampuan menjalin dialog lewat batu, batu
juga menjadi ajang aktualisasi diri. Pemiliknya bisa narsis dan merasa punya
kekuatan lebih ketika memakai batu.
Oleh: MAWAR KUSUMA & M HILMI FAIQ
Kompas